Kamis, 02 September 2010

SEJARAH AWAL BERDIRINYA TARUNG DERAJAT

Olahraga Tarung Derajat diciptakan oleh seorang putra bangsa Indonesia yaitu Sang Guru (Drs.Haji Achmad Dradjat, ), yang akrab disapa dengan nama populernya “AA-BOXER”. Olahraga ini dilahirkannya sebagai suatu seni ilmu beladiri dengan memiliki aliran dan wadah tersendiri tanpa berapliasi dengan aliran lain dan organisasi beladiri lainnya yang ada di bumi Indonesia, serta tidak mengadopsi dan bukan gabungan dari beladiri lain seperti pencak silat, karate, taekwondo, kempo, judo, gulat dan tinju. Namun, keberadaan Tarung Derajat tidak juga muncul dengan sendirinya, akan tetapi memiliki latar belakang suatu riwayat perjalanan hidup Sang Guru dan diridhoi oleh keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
Beladiri ini, lahir atau muncul dari pengalaman hidup yang pernah dilakoni oleh Sang Guru dimana sekitar tahun 1968 hingga tahun 1970-an, anak muda ini waktu itu sering terlibat aksi kekerasan pisik, penganiayaan, perkelahian, pemerasan, dan penghinaan (AD/ART Kodrat: 1994). Keadaan itu, tentu bukan dia yang memulainya, tapi timbul dalam keterpaksaan “kalau ada orang yang menjahati saya, masak saya diam saja? katanya dalam (Matra, Mai: 1997). Dari berbagai perkelahian dengan pereman di pusat kota Bandung-Jawa Barat, Sang Guru selalu menang, pada hal dilihat dari postur tubuhnya yang berbobot sedang tidak meyakinkan untuk mengatasi lawan. Melihat kehebatan Sang Guru waktu itu, rupanya banyak dari gorombolan pereman yang tidak suka dengannya, maka kelompok peremanisme membuat suatu siasat untuk menghabisi Sang Guru. Mengingat jumlah preman cukup banyak, maka dia segera menghindar dari gorombolan itu. Tapi mereka terlanjur dikuasai emosi segera mengejar Sang Guru seraya meneriakkan maling. Mendengar teriakan itu, orang-orang yang tengah berada di pasar malam ketika itu, ikut memburunya sampai ia terkepung dan ramai-ramai memukulinya sampai ia terkulai lemas dan kondisi tubuhnya sangat menyedihkan.

Semenjak peristiwa pahit itu, Sang Guru mulai merenung untuk menyisiasati diri, mengasah kemampuan mempelajari berbagai jenis beladiri antara lain pencak silat dan karate. Tapi ia tetap tidak puas, alasannya semua itu belum bisa membalas sakit hatinya. Pertanyaan selalu muncul dalam benaknya “Jenis beladiri apakah yang bisa mengangkat kehormatan saya supaya tidak dihina dan disakiti orang?” Kemudian timbul pikiran dalam dirinya untuk menciptakan teknik beladiri dari berbagai beladiri yang pernah dipelajarinya yaitu memadukan lima unsur fungsi gerakan beladiri, seperti: memukul, menendang, menangkis, membanting dan mengelak. Setiap hari kelima fungsi ini diputuskannya dipelajari, diasosiasi dan dipraktekkan sendiri dalam kehidupannya, minimal empat jam sehari dia berlatih dan menemukan teknik-teknik praktis dan efektif, serta merangkai gerakan seni beladiri yang akrobatis dan indah ditonton oleh masyarakat.
Setelah merasa matang dengan ilmu baru yang dia kemas (konsep) sendiri dan dipraktekkannya kepada orang-orang yang mencoba memeras atau membuat masalah selalu dilayaninya. Para berandal dianggap Sang Guru paling tepat untuk menguji teknik beladirinya itu. Ketika itu “terpukul oleh lawan, kok tidak terasa sakit?” tanyanya kepada diri sendiri. “Kesaktian” itu rupanya cukup membawa manfaat. Setiap kali ada orang yang dianiaya atau disakiti oleh berandalan (preman), maka Sang Guru bisa berbuat sesuatu menegakkan kebenaran. Dari sinilah namanya mulai dikenal sebagai pembela orang-orang yang disakiti secara pisik dengan sebutan AA-BOXER yang memiliki kemampuan beladiri yang luar biasa, yakni bertenaga: kuat, cepat, tepat, berani dan ulet, sehingga dia sering menyebutnya keberhasilan pergerakanTarung Derajat sebagai dasar filosofis gerak tubuh ditentukan oleh lima khas kunci kemampuan.
Tak heran lagi, nama Sang Guru yang mendapat julukan AA-BOXER semakin populer dan menjadi jagoan bertarung tersiar kemana-mana di tanah air. Sehingga banyak orang-orang berdatangan minta diajari beladiri ciptaannya, mulai dari anak muda sampai orang tua. Waktu itu Sang Guru malah kebingungan. “Apa yang harus saya ajarkan katanya?”. Sebab ia sendiri mengaku tidak memiliki teknik atau jurus yang baku (Matra, 1997). Karena masih merasa bingung menghadapi anak yang belajar yang cukup banyak, malah metode yang diterapkan Sang Guru menyuruh teman-temannya (anak yang belajar) menyerang ramai-ramai dan merelakan tubuhnya dipukuli, walau kadang-kadang membalas juga. Begitulah perjalan praktek cara mengajarkan kepada orang lain dan disamping menerapkan apa yang berkembang pada saat itu.
Dari pengalaman praktek mengajarkan ilmu beladiri ini, Sang Guru menerima berbagai masukan dari teman-teman agar menata dan mensistematiskan jurus-jurus yang telah diciptakannya yang berkembang secara alamiah agar menemukan bentuk-bentuk gerakan baku untuk dijadikan fungsi beladiri yang dinamis, praktis dan efektif untuk diajarkan. Disamping itu juga mensinergiskan unsur filosofis, pedagogis, kultural, kesehatan olahraga, sosialogis, dan menerapkan ilmiah olahraga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar